Thursday 12 May 2005

Doeabelas Mei

For those English readers, apologize me to write this article in Bahasa Indonesia. For those Bahasa Indonesia readers, apologize me not to write using ejaan yang benar.

Hari ini sudah 7 tahun kejadian 12 Mei 1998 berlalu. Di antara 7 kali upacara peringatan 12 Mei, saya hanya ikut 4 di antaranya. Tahun lalu saya sengaja nggak ikut, karena mulai merasa ada keanehan dan terasa muatan politisnya.

Pagi ini, saya ikut lagi upacaranya. Hanya karena perasaan ingin tahu aja apakah ada perubahan yang mencolok setelah 7 tahun berlalu. Sambil jalan ke lapangan upacara, tadi mikir-mikir, ini kasusnya mirip-mirip sama nine-eleven-nya Osama bin Laden. Mungkin skalanya aja yang lebih kecil.

Sejak tahun lalu, saya mulai merasakan ada kejanggalan dalam peringatan kasus 12 Mei ini. Setiap kali upacara 12 Mei diadakan, selalu saja yang diundang adalah justru para dosen dan karyawan. Bagaimana dengan mahasiswa? Hanya perwakilan BEM. Isn't it strange?

Padahal yang jadi korban peristiwa 12 Mei 98 itu jelas-jelas mahasiswa. Nggak ada satu pun dosen atau karyawan yang jadi korban. Lha kok ketika peristiwa itu diperingati, hanya segelintir mahasiswa yang diajak.

Rupanya bukan hanya saya yang merasakan keanehan ini. Paling tidak ada salah satu rekan karyawan yang tadi bareng-bareng berangkat ke lapangan upacara merasakan hal yang sama. Dia bilang, "Pejabat universitas ini orang-orang akademik semua, tapi kok cara berpikirnya nggak akademis ya?" Ini bukan saya lho yang ngomong. Tapi siapa pun yang ngomong, dipikir-pikir dulu lah, kenyataannya bener begitu nggak?

Ada lagi yang aneh. Mahasiswa yang ikut upacara hanya perwakilan. Lalu sisanya yang lain ke mana? Di rumah! Kok bisa? Ya bisa aja, kan udah diumumin beberapa hari sebelumnya kalo tanggal 12 Mei semua kegiatan akademik dan kegiatan pelayanan akademik ditiadakan. Buat mahasiswa yang hidup di tengah kota Jakarta, yang deket dengan 4 pusat perbelanjaan, hal semacam ini disambut dengan "Asik! Gue bisa libur!"

Kayak gini ini Reformatif? Apa Reformasi itu artinya bikin orang supaya jadi malas ya?

Satu lagi yang aneh. Ini kasus kan tahun 98 dulu nggak cuma mahasiswa Trisakti yang ikut terlibat. Lha kenapa peringatannya hanya diperingati di sini doang? Kenapa nggak BEM se-Jakarta ikut terlibat?


Lihat juga berita di situs berita detik.com hari ini (klik judul artikel ini). Kasus 12 Mei cenderung memudar dan dilupakan. Saya jadi mikir, Kapan ya tanggal 12 Mei nggak cuma dijadiin hari peringatan gugurnya pahlawan Reformasi, tapi justru yang lebih penting, 12 Mei diperingati sebagai hari terungkapnya kasus 12 Mei.

Bukankah itu lebih penting?

Bisakah anda bayangkan apa yang dirasakan oleh orang tua para mahasiswa yang jadi korban penembakan 12 Mei? Udah 7 tahun nggak jelas siapa yang memerintahkan penembakan itu. Apa nggak capek? Apa nggak habis uang dan waktu untuk meminta penjelasan?

Semuanya ditutup-tutupi kan?

Karena itu tadi pagi saya mikir kasus 12 Mei ini mirip nine-eleven. Boleh jadi kita menyebutnya twelve-five, 12/5.

Tulisan ini saya buat atas dasar keinginan untuk mencari tahu ada apa sebenarnya yang terjadi. Saya ingin mencari tahu jawaban atas pertanyaan Why?

Gara-gara kejadian 12 Mei, kampus ini disebut Kampus Pahlawan Reformasi. Well.. kalo dipikir baik-baik emang bener sih. Mereka yang jadi korban boleh lah disebut Pahlawan. Tapi sayangnya yang masih hidup tidak reformatif.

Nyontek masih jadi kebudayaan. Aturan Batas Masa Studi masih bisa dinegosiasikan. Kriteria kelulusan mahasiswa kadang juga masih bisa dinegosiasikan. Mahasiswa datang ke kampus lebih banyak yang karena gengsi ingin pamer handphone baru atau fashion gaya baru.

Dosen yang seharusnya punya tugas utama ngajar, seringkali ditambahi dengan beban kerja administratif yang seabreg-abreg. Rapat sini lah, rapat situ lah. Berapa kali jadwal kuliah dikorbankan karena dosen pengajarnya ikut rapat ini dan itu. Dengan akting mirip akrobat seperti itu, mana bisa dosen bikin penelitian yang serius? Kapan dosen di kampus ini bisa menyaingi penelitian dari negara tetangga? Jangan pikirkan negara maju, dibandingkan dengan negara tetangga aja belum tentu kita bisa bersaing gara-gara sering akrobatik jungkir balik dengan tugas administratif.

Pernah ada kawan selama 5 hari kerja dalam seminggu selalu merapatkan barisan. Kerjaannya dari rapat ke rapat. Mirip anggota dewan yang terhormat aja.

Gimana bisa terhormat coba? Padahal kesejahteraan karyawan dan dosen seringkali masih diabaikan. Menurut salah satu sumber, salah satu pejabat pernah bilang begini, "Lha karyawan itu nggak pernah demo minta kenaikan gaji kok, berarti kan mereka merasa cukup dengan gaji yang diberikan?". Akademisi yang nggak berpola pikir akademis! Emangnya biaya hidup di Jakarta itu berapa? Gaji karyawan berapa? Bisa nabung nggak mereka buat masa depan keluarganya?

Bukan orang Indonesia namanya kalo nggak bisa bikin joke dari kenyataan pahit semacam itu. Salah seorang temen bilang, "Kalo kerja di sini selama setahun pertama gajinya pas-pasan. Tahun kedua dan seterusnya akan kembali menjadi biasa. Terbiasa digaji pas-pasan". Ironic but true.

Ini udah kepanjangan kali ya? Tapi ijinkan saya ngebahas satu contoh kasus lagi dari masalah ini.

Anda tahu harga buku teks sekarang itu berapa? Idealnya, kalo mau selalu up-to-date, dosen sebagai pengajar kan musti tahu perkembangan teknologi terakhir, iya kan? Nah.. bicara tentang sumber informasi terakhir, salah satunya bisa diambil dari buku teks. Buku teks ini idealnya digunakan sebagai bahan mengajar di kelas.

Katanya sih reformasi. Kenyataannya untuk satu tahun setiap dosen berhak menerima uang sebesar Rp.150.000,- untuk membeli buku baru. Mau dapet buku apa dengan uang sebesar itu? (sekali lagi, ini pola kebijakan yang nggak akademik dalam lingkungan pejabat yang sebagian besar punya gelar akademik). Padahal seorang dosen minimal mengajar 2 mata kuliah yang berbeda. Idealnya tiap mata kuliah perlu di-update dengan informasi baru dong. Tujuh puluh lima ribu rupiah mau beli buku baru apa?

Cukup lah dulu sampe sini. Mau dipanjangin kalo nggak ada aksi perubahan reformatif ya tetep begini-begini aja keadaannya. Kalo ada yang baca ya saya mohon maaf. Saya hanya mengungkapkan kenyataan yang ada, bukan bermaksud mengungkap aib. Maksud saya supaya ini bisa jadi bahan evaluasi, mana yang sebetulnya perlu direformasi. Upacara seremonial tiap tahunnya, atau kebudayaan kita yang pengen direformasi?

Yah.. untuk sementara waktu, paling-paling karyawan dan dosen disuruh untuk bisa survive dulu dengan keadaan yang ada. Tapi mau sampe kapan?

1 comment:

Anonymous said...

iya, mau sampai kapan?
memang mesti kita mulai dari diri sendiri sambil ajak lingkungan sekitar.

passion, courage and commitment