Monday 6 July 2009

Kisruh DPT, dan Peran Serta Kita

Dua hari lagi bangsa Indonesia akan menjalankan Pemilihan Presiden yang kedua kalinya, jika tidak ada halangan. Sepanjang tahun 2009 ini, diadakan dua kali pemilihan. Pemilihan pertama dilaksanakan bulan April lalu, untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di Dewan Perwakilan Rakyat dan DPR Daerah. Bulan Juli ini, pemilihan kedua dilangsungkan, untuk memilih pemimpin Indonesia masa bakti 2009-2014.

Pada bulan April lalu, pelaksanaan pemilu bukan tanpa masalah, dan menjelang pelaksanaan Pemilihan Presiden tanggal 8 besok, masalah yang sama kembali berulang. Ini masalah tentang DPT (Daftar Pemilih Tetap).

Seharusnya, DPT memuat semua warga negara Indonesia yang punya hak suara untuk ikut serta dalam pemilihan umum. Namun banyak masalah ditemui dari segi pendataannya. Banyak kasus di mana satu orang terdaftar dua kali (atau bahkan mungkin lebih) di dalam DPT. Tentu ada juga yang justru haknya tak terpenuhi, namanya sama sekali tidak masuk dalam DPT. Kasus yang menurut saya lebih parah adalah kasus di mana orang yang sudah meninggal dunia masih terdaftar sebagai pemilih tetap. Tapi itu masih belum seberapa sih, dibandingkan daftar calon legislatif di bulan April lalu, yang memuat satu atau dua nama orang almarhum untuk dipilih sebagai wakil rakyat di DPR/DPRD.

Banyak yang mengajukan usul agar DPT dibenahi dulu sebelum Pilpres besok dilangsungkan. Dipikir-pikir ya wajar saja ada permintaan seperti ini. Soalnya kan kasihan saudara-saudara kita yang semustinya punya hak suara tapi tidak teraspirasikan hanya gara-gara namanya tidak tercantum dalam DPT. Ada sebagian lagi yang mengusulkan agar mereka yang namanya tidak ada di DPT, tetap dapat memilih dengan menunjukkan kartu identitas mereka, yang di Indonesia dikenal dengan istilah KTP (Kartu Tanda Penduduk).

Menurut saya, kisruh DPT pada pemilihan umum disebabkan oleh andil masyarakat sendiri. Jadi semustinya ribut-ribut yang terjadi sekarang tak perlu dipermasalahkan. Semuanya terpulang kepada diri kita masing-masing.

Begini penjelasannya. Coba lihat teman-teman kerja anda di kantor, terutama bagi anda yang bekerja di Jakarta. Berapa banyak dari teman-teman anda itu yang memiliki KTP dua atau lebih? Satu KTP Jakarta, satu lagi KTP kampung halamannya, biasanya begitu. Kadang masih ditambah lagi dengan KTP tempat dia tinggal. Misalnya, seseorang berasal dari satu daerah di luar Jawa. Tinggal di kota-kota sekeliling Jakarta (Bogor, Tangerang, Depok, Bekasi). Bekerja di Jakarta. KTP kampung halaman ada sendiri, KTP tempat tinggal juga ada, KTP tempat kerja pun ada.

Pengalaman saya pribadi nyata-nyata terjadi. Waktu saya pindah domisili, saya sempat melapor ke Ketua Rukun Tetangga tempat tinggal saya yang baru. Waktu itu saya menyerahkan salinan KTP dan Kartu Keluarga. Seolah seperti hal yang lumrah, pak RT waktu itu bilang sama saya, "Nanti kalo pak Anung mau bikin KTP sini, bilang aja sama saya."

Saya ganti tanya, "KTP yang lama masih berlaku nggak pak?"

"Masih berlaku."

Jadi artinya saya bakal punya dua KTP toh?

Konsekuensinya dengan pemilihan, berarti saya punya hak memilih dua kali, seandainya pemilihan bisa dilaksanakan dengan menunjukkan KTP sebagai bukti identitas. Yang salah siapa?

Sebetulnya saya juga memikirkan hal yang aneh berkaitan dengan pendataan DPT ini. Mustinya kan data DPT ini bisa sekaligus digunakan sebagai Sensus Penduduk. Setidaknya warga negara Indonesia yang berusia 17 tahun ke atas, akan terdata dengan akurat jumlahnya ada berapa. Sayangnya saya melihat sebagian kita memandang Sensus Penduduk tak ada manfaatnya buat rakyat.

Kalau dihubungkan dengan bencana, mungkin kita bisa berpikir lebih panjang.

Coba bayangkan tanggal 8 Juli besok bukan perhelatan Pemilihan Presiden. Coba bayangkan sesuatu yang tidak mengenakkan terjadi, gempa bumi massal misalnya. Katakanlah seluruh kota besar di Indonesia akan digoncang gempa tanggal 8 Juli besok. Saya tahu ini terlalu mengada-ada. Tapi coba pikirkan apa yang perlu dilakukan oleh pemerintah ketika tiba saatnya mengalirkan bantuan bencana alam kepada kita-kita ini, rakyat jelata.

Berapa tepatnya jumlah penduduk di Jakarta yang perlu diberi bantuan? Apakah bisa akurat kalau kita punya dua atau tiga KTP?

Jadi menurut saya, bagi mereka yang protes gara-gara namanya tidak terdaftar dalam DPT, cobalah ambil cermin dan lihat isi dompet kalian. Lihat apakah ada KTP ganda di sana. Kalau mau punya hak suara, mbok ya ikut serta aktif dengan memberikan jumlah anggota keluarga kita ada berapa ke kelurahan setempat.

Kita ini cenderung menyalahkan orang lain. Kita pengen supaya staf Kelurahan keliling ke rumah-rumah untuk mendata ada berapa individu yang tinggal di setiap rumah. Apa nggak lebih enak kalau kita sama-sama ikut aktif, sekali-kali datang lah ke Kelurahan. Toh hanya lima tahun sekali menengok seperti apa suasana di sana.

Mungkin malah ketemu tetangga belakang rumah yang selama ini nggak pernah ketemu gara-gara sibuk pergi pagi pulang malam bekerja di Jakarta. Mungkin malah bisa membuka kesempatan bisnis baru karena ketemu saudara-saudara yang lain.