Friday 19 October 2012

Kelebihan Antar Golongan (3)

Pendahuluan

Negeri ini mengalami berbagai macam masalah, selama beberapa tahun terakhir. Seolah tak kunjung usai. Bencana alam, masalah-masalah sosial, kepercayaan diri, dan banyak lagi masalah bisa diberikan untuk memperpanjang daftar yang sudah ada.

Semua masalah itu tak kunjung usai, dan bahkan mungkin semakin memburuk, ketika seseorang atau sekelompok organisasi mengusulkan sebuah pemecahan. Mengapa sebuah pemecahan justru malah membuat keadaan semakin buruk? Karena orang lain akan memberikan komentar mereka, menilai usulan dari kelompok pertama tak akan membuahkan hasil, dan merasa pendapatnya lebih baik dan lebih memberikan solusi.

Di tengah-tengah suasana seperti itu, salah seorang putra negeri, Buya Hamka, pernah menulis satu tulisan yang menurut saya penting untuk sama-sama diketahui oleh siapa pun yang peduli dengan nasib negeri ini. Buya Hamka menuliskan pandangannya, dalam bagian tafsir Al-Azhar Juzu' III, pada bagian yang membahas tentang ayat ke-253 surat al-Baqarah (surat ke-2) di dalam al-Quran. Tulisan beliau disampaikan di blog bukan dengan niat untuk membajak hak cipta atau melanggar hak cipta Buya Hamka dengan tafsirnya. Tulisan ini sengaja disampaikan di sini karena apa yang beliau tulis di sana saya pikir sangat penting dan relevan dengan kondisi yang sekarang terjadi.

Tulisan ini adalah bagian ketiga dari tulisan Buya Hamka. Bagian pertama dapat dibaca di sini. Semoga apa yang beliau sampaikan bermanfaat bagi kita semua.

Tafsir

Demikianlah sejarah telah membuktikan bunyi ayat ini, bahwasanya setelah datang keterangan-keterangan Allah dengan sejelas-jelasnya, timbullah perselisihan, yaitu satu hal yang pada pendapat kita
sepintas-lalu tidak mestinya kejadian. Maka datanglah lanjutan ayat:

"Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah mereka akan berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang Dia kehendaki." (ujung ayat 253).

Dengan bunyi ayat ini jelas bahwa jika Allah menghendaki, niscaya mereka tidak akan berbunuh-bunuhan, terseliplah satu faham bahwa berbunuh-bunuhan, huru-hara yang timbul dari benci-membenci, tidaklah disukai oleh manusia dan tidak pula disukai tentunya oleh Allah. Siapa
pula orang yang senang dengan keadaan yang selalu rusuh? Tetapi mengapa maka di ujung ayat Tuhan mengatakan bahwa Allah berbuat sekehendakNya? Adakah di dalam ayat ini suatu hal yang akan membawa kita kepada faham Jabariyah, yaitu menyerahkan segala sesuatu kepada takdir belaka, sehingga kita tidak berikhtiar lagi?

Untuk memahami ayat ini, wajiblah kita menilik ilmu jiwa manusia (Psychologi) dan ilmu kemasyarakatan (Sociologi). Dan terlebih dahulu hendaklah kita ingat bahwa manusia dijadikan oleh Allah lain daripada kejadian makhluk yang lain. Manusia diberikan akan buat menimbang
buruk dan baik, mudharat dan manfaat. Seluruh manusia yang berakal budi tidaklah menyukai yang buruk, dan tidaklah menginginkan yang mudharat. Manusia itu selalu mencari mana yang lebih benar dan mana yang lebih manfaat. Akal manusia dijadikan pula tidak sama pertumbuhannya; bertinggi berendah. Di samping itu, kehidupan manusia dan pertumbuhan akalnya itu selalu dipengaruhi oleh alam sekelilingnya, oleh lingkungannya. Oleh sebab itu maka penilaiannya terhadap kebenaran tidak pulalah sama. Ada orang yang pintar yang disebut khawash. Ada orang yang pendapat akalnya hanya sederhana saja yang disebut awam. Kadang-kadang orang hidup sebagai katak di bawah tempurung, menyangka bahwa yang di sekelilingnya itu sudah langit, sebab itu disalahkannya orang yang menyatakan bahwa yang melingkunginya itu belumlah langit, barulah tempurung. Di sini sudah
mulai timbul tampang dari perselisihan.

Kadang-kadang manusia terpengaruh dalam lingkungannya. Katanya didengar orang, perintahnya diikuti. Golongan semacam ini tidak mau ada tandingan dan gandingan terhadap dirinya. Sebab itu bilamana saja terdengar suara baru, yang berbeda daripada yang disuarakannya, dia pasti menentang, walaupun suara baru itu benar.

Kadang-kadang timbul perselisihan karena perebutan politik, karena pengaruh golongan, karena takut kedahuluan, yah, kadang-kadang karena propakasi musuh.

Perbedaan pendapat akal, dengan tidak disadari telah ditunggangi oleh hawanafsu. Sehingga akhirnya darahpun tertumpah, sedang yang kusut tidaklah selesai. Sebab itu maka perselisihan dan pertumpahan darah, berbunuh-bunuhan, bukanlah karena perbedaan pendapat akal melainkan karena dorongan hawanafsu. Keterangan dan penjelasan yang dibawa Rasul, dikaburkan oleh hawa dan nafsu.

Kalau demikian adakah kiranya terselib takdir buruk dari Allah, sehingga kita artikan bahwasanya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki akan kita terima dengan pandangan yang buruk?

Niscaya tidak!

Di sini kita bertemu bahwa jalan yang ditempuh oleh manusia, dengan pengaruh akal dan hawanafsunya, membawa manusia kepada ketentuan Tuhan; tidak ada jalan lain!

Di dalam ayat ini kita telah bertemu bahwasanya perpecahan dan pertumpahan darah setelah menerima agama, setelah menerima keterangan Rasul-rasul, pada hakikatnya tidaklah dikehendaki Allah. Tetapi karena manusia memperturutkan hawanafsunya, maka agama telah membawanya kepada perpecahan. Maka hendaklah pengalaman-pengalaman yang telah dilalui oleh manusia di atas permukaan bumi ini dalam berabad-abad ini dijadikan i'tibar oleh manusia yang datang di belakang. Khusus bagi ummat Islam sendiri, diberi ingatlah mereka, apabila terjadi selisih fikiran, supaya segera kembali kepada pokok. Menurut pepatah: "Kusut di ujung tali, kembalilah ke pangkal tali." Terjadi selisih dalam
agama, maka kembalilah kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasul. Dan jika terjadi perselisihan dalam soal-soal politik, kembalilah kepada keputusan Ulil-Amri, sebagaimana yang diatur oleh Syara', yaitu yang dinamai Ahlusy-Syura. Yang di dalam zaman moden dinamai "wakil-wakil rakyat", atau orang-orang yang dipercaya oleh ummat.

Ulil-Umri melakukan musyawarat memutuskan perselisihan yang berkenaan dengan urusan dunia politik, sehingga tidak timbul diktator. Dalam urusan yang berkenaan dengan agama, dilarang taqlid. Di dalam Islam kedudukan ulama agama bukanlah sebagai kedudukan pendeta dalam agama Nasrani. Bukanlah fatwa ulama suatu amar yang tidak boleh dibanding dan disanggah. Fatwa itu hanya berlaku selama sesuai dengan isi al-Quran dan Sunnah Nabi. Adapun al-Quran, inilah satu-satunya Kitab Suci yang isinya terang tidak ada selisih. Dalam Agama Islam betapapun adanya perselisihan faham, misalnya antara Khawarij dengan Syi'ah, Mu'tazilah atau Jahmiyah, namun pegangan pada al-Quran adalah satu. Oleh sebab itu jalan kepada persatuan amat mudah dalam Islam, daripada dalam agama yang lain-lain. Perselisihan dalam hal Akidah tidaklah menyebabkan timbulnya jurang yang dalam di antara pihak-pihak yang berselisih.

Sungguhpun hebat pertentangan kepercayaan di antara Dunia Kristen, namun dalam abad ke20 ini pemuka-pemuka agama mereka telah berusaha hendak mencari titik-titik pertemuan. Maka dalam Dunia Islam mencari titik-titik pertemuan ini lebih mudah daripada dalam agama Kristen, asal ada kemauan. Apatah lagi setelah zaman akhir-akhir ini terasa benar tekanan negara-negara penjajah terhadap Islam.

Lanjutkan membaca bagian keempat dan terakhir di sini.

No comments: