Thursday 4 June 2009

Mencemarkan Nama Baik Sendiri

Kasus penangkapan Prita Mulyasari atas dugaan pencemaran nama baik patut untuk dicermati. Semuanya berkaitan dengan kondisi nyata masyarakat di Indonesia.

Pertama, tentang dugaan pencemaran nama baik. Prita didakwa telah mencemarkan nama baik pihak RS Omni Internasional Alam Sutera (OIAS) karena telah menuliskan sepucuk surat elektronik yang menurut versi media massa, dia kirimkan kepada teman-teman dekatnya.

Mengikuti asas praduga tak bersalah, tentu saja kita lebih baik bersikap terbuka bahwa tindakan Prita menuliskan surat elektronik tersebut semata-mata adalah sebagai seorang pasien yang merasa tidak puas atas layanan yang diberikan OIAS.

Kemudian keluhan melalui surel tersebut disebarluaskan oleh teman-teman Prita ke berbagai mailing list. Di sini kita juga sepatutnya berprasangka baik bahwa tindakan teman-teman Prita mungkin didasari atas pertimbangan jangan sampai pelayanan yang kurang baik tersebut dialami oleh orang lain.

Selayaknyalah kita semua mau berbesar hati menerima kritik dari siapa pun. Karena sesungguhnya kritik yang dikeluhkan Prita dan kemudian disebarluaskan oleh teman-temannya pada gilirannya membuat diri kita menjadi lebih baik. Dengan adanya kritik, kita jadi tahu apa kekurangan kita. Dari situ kita bisa membuat prestasi yang lebih baik lagi, semisal dengan meningkatkan pelayanan kesehatan yang memuaskan bagi para pasien.

Di sisi lain kita juga harus membuka diri terhadap kemungkinan adanya keinginan untuk mengetahui hasil diagnosis tenaga medis. Menurut berita yang dilansir berbagai media, pihak OIAS ingin lebih pasti menentukan hasil diagnosis penyakit Prita dengan cara melakukan cek silang (cross check) terhadap hasil uji laboratorium yang lain.

Pengecekan silang tentu saja memakan waktu cukup lama. Kadang sebagai pasien kita memang menjadi tidak sabar. Seharusnya kita memiliki cukup pengertian bahwa tindakan yang dilakukan tenaga medis tersebut sesungguhnya adalah sikap berhati-hati dalam menentukan diagnosa penyakit. Jangan sampai karena mengambil kesimpulan terlalu dini tindakan yang diambil kemudian sama sekali tidak menyembuhkan penyakit yang sesungguhnya. Jika kita ambil kemungkinan terburuk, dimasukkannya Prita ke dalam penjara di Tangerang mungkin jauh lebih baik daripada misalnya meninggalnya Prita karena salah minum obat. Untuk menentukan obat yang paling cocok untuk suatu penyakit dapat diketahui dengan uji klinis yang mendalam dan mungkin membutuhkan waktu yang panjang, apalagi jika memang ternyata penyakit yang diderita Prita termasuk kasus yang langka.

Kita sebagai pasien, konsumen layanan kesehatan, memang punya hak untuk menerima informasi yang jelas dan gamblang terhadap semua uji klinis yang dilakukan. Sama halnya dengan hak kita untuk mendapatkan informasi sejelas mungkin apakah obat yang diberikan
dokter kepada kita mengandung zat yang mematikan atau tidak. Di sisi lain, kita juga harus memahami bahwa untuk menentukan obat yang paling cocok memerlukan kehati-hatian. Proses diagnosa yang panjang mungkin bisa membuat kita sebagai pasien menjadi tidak sabar.

Keterbukaan komunikasi antara pasien dan tenaga medis menurut saya menjadi kunci penting dalam mencegah kejadian semacam ini berulang di kemudian hari.

Dari segi penegakan hukum dan pemberitaan media massa, kasus ini juga perlu mendapat perhatian. Dugaan yang diajukan oleh pihak kejaksaan untuk menggiring Prita ke penjara didasarkan atas Undang-Undang Teknologi Informasi yang kurang lebih mengandung
pasal tentang larangan bagi siapa pun untuk menyebarkan berita bohong. Dari sisi penegakan hukum, menurut saya vonis yang dijatuhkan kepada Prita terlalu keras. Seharusnya hakim juga
mendengar kesaksian dari para dokter yang memeriksa penyakit Prita. Sebab hingga hari ini tak ada sama sekali kabar berita tentang bagaimana tanggapan dua orang dokter yang mendiagnosa
penyakit Prita. Yang diberitakan hanyalah pernyataan juru bicara OIAS yang mewakili kedua orang dokter tersebut. Belum ada satu pun berita yang mengabarkan bahwa dalam pengadilan yang menjatuhkan vonis penjara bagi Prita, dihadirkan kedua orang dokter sebagai saksi untuk didengarkan pendapatnya.

Di sini aspek keadilan dan pemberitaan yang berimbang juga sepatutnya dilakukan oleh insan pers di Indonesia. Sungguh aneh menurut saya jika para wartawan yang melaporkan kasus ini sama sekali tak punya inisiatif untuk mencari keberadaan dua orang dokter yang merawat Prita dan menanyakan pandangan serta kesaksian mereka. Apakah memang benar kejadian yang sebenarnya seperti yang diberitakan selama ini?

Menurut saya, justru dengan menghilangnya kesaksian kedua dokter tersebut kasus tuduhan pencemaran nama baik ini menjadi berbalik. Yang dicemarkan nama baiknya sesungguhnya adalah pihak OIAS dan yang melakukannya adalah OIAS sendiri, dibantu oleh media massa.

Bagi saya yang paling menyedihkan adalah kejadian ini kemudian dijadikan bahan dagangan politik oleh capres dan cawapres kita. Prita sekarang seolah jadi bintang kagetan. Semua orang
membicarakan dirinya. Sama halnya dengan seorang Manohara yang akhirnya bisa kembali ke Indonesia dan sekarang punya jadwal super sibuk memenuhi permintaan wawancara dari para wartawan berbagai media massa.

Naiknya pamor seorang Prita maupun Manohara justru dijadikan batu loncatan oleh capres dan cawapres untuk ikut mendongkrak popularitas mereka. Ke mana saja kalian sebelum kalian mencalonkan diri menjadi capres dan cawapres? Buktinya Manohara berhasil pulang bukan atas simpati dan bantuan kalian. Masih banyak pula TKI kita yang nasibnya hampir mirip seperti budak tapi kalian toh diam saja. Ke mana pula kalian ketika banyak rakyat yang luntang-lantung tak jelas di perempatan-perempatan lampu merah ibu kota mencari sekedar uang untuk membeli nasi ala kadarnya? Berani-beraninya kalian mendengung-dengungkan ekonomi kerakyatan, tanpa menunjukkan aksi nyata.

Semoga tulisan saya ini tidak membuat suasana kritis yang membangun bangsa menjadi hilang. Dengan kata lain, jika gara-gara tulisan saya ini kemudian saya mengalami tuduhan yang sama dengan Prita, karena dianggap tulisan saya mencemarkan nama baik para pengabar berita (wartawan dan reporter) maupun capres dan cawapres, maka sesungguhnya Indonesia tidak akan pernah bangkit dari keterbelakangan.

Jika ada yang merasa tersinggung, sesungguhnya itu adalah suatu hal yang baik. Sebab itu berarti kalian masih punya hati nurani. Jika kalian tak merasakan apa-apa membaca tulisan ini, mungkin hati nurani kalian sudah terlalu beku dan buta terhadap kenyataan yang terjadi di negeri Indonesia tercinta.

Kritik kita perlukan agar kita mengetahui apa kekurangan kita masing-masing. Yang perlu kita biasakan adalah kedewasaan sikap untuk menerima kritik tersebut, dan kemauan untuk mengurangi kelemahan yang masih tersisa pada diri kita.

2 comments:

Unknown said...

itu namanya aji mumpung mas.

rejang land
http://rejang-lebong.blogspot.com

Anung said...

Iya, banyak yang pake aji mumpung di negeri ini.

Salam kenal ya.