Sunday 5 June 2016

Surat al-Mulk (Kerajaan) - bagian 1

Surat Al-Mulk (Kerajaan)


Ayat 1 hingga 30

ﺑِﺴْﻢِ ٱﻟﻠَّﻪِ ٱﻟﺮَّﺣْﻤَٰﻦِ ٱﻟﺮَّﺣِﻴﻢِ

Dengan nama Allah Yang Maha Murah lagi Pengasih.

ﺗَﺒَٰﺮَﻙَ ٱﻟَّﺬِﻯ ﺑِﻴَﺪِﻩِ ٱﻟْﻤُﻠْﻚُ ﻭَﻫُﻮَ ﻋَﻠَﻰٰ ﻛُﻞِّ ﺷَﻰْءٍ ﻗَﺪِﻳﺮٌ
(1) Maha Suci Dia, yang di dalam tanganNya sekalian kerajaan; dan Dia atas tiap-tiap sesuatu adalah Maha Menentukan.

ٱﻟَّﺬِﻯ ﺧَﻠَﻖَ ٱﻟْﻤَﻮْﺕَ ﻭَٱﻟْﺤَﻴَﻮٰﺓَ ﻟِﻴَﺒْﻠُﻮَﻛُﻢْ ﺃَﻳُّﻜُﻢْ ﺃَﺣْﺴَﻦُ ﻋَﻤَﻼً ۚ ﻭَﻫُﻮَ ٱﻟْﻌَﺰِﻳﺰُ ٱﻟْﻐَﻔُﻮﺭُ

(2) Dia yang menciptakan maut dan hayat, karena Dia akan menguji kamu, manakah di antara kamu yang terlebih baik amalannya; dan Dia adalah Maha Perkasa, lagi Maha Pengampun.

ٱﻟَّﺬِﻯ ﺧَﻠَﻖَ ﺳَﺒْﻊَ ﺳَﻤَٰﻮَٰﺕٍ ﻃِﺒَﺎﻗًﺎ ۖ ﻣَّﺎ ﺗَﺮَﻯٰ ﻓِﻰ ﺧَﻠْﻖِ ٱﻟﺮَّﺣْﻤَٰﻦِ ﻣِﻦ ﺗَﻔَٰﻮُﺕٍ ۖ ﻓَﭑﺭْﺟِﻊِ ٱﻟْﺒَﺼَﺮَ ﻫَﻞْ ﺗَﺮَﻯٰ ﻣِﻦ ﻓُﻄُﻮﺭٍ

(3) Dia yang telah menciptakan tujuh langit bertingkat-tingkat; tidaklah akan kamu lihat pada penciptaan Yang Maha Pemurah itu sesuatu pun dari yang bertikaian. Maka ulanglah kembali penglihatan, adakah engkau lihat sesuatu yang janggal?

ﺛُﻢَّ ٱﺭْﺟِﻊِ ٱﻟْﺒَﺼَﺮَ ﻛَﺮَّﺗَﻴْﻦِ ﻳَﻨﻘَﻠِﺐْ ﺇِﻟَﻴْﻚَ ٱﻟْﺒَﺼَﺮُ ﺧَﺎﺳِﺌًﺎ ﻭَﻫُﻮَ ﺣَﺴِﻴﺮٌ

(4) Kemudian itu ulanglah kembali penglihatan kedua kalinya, niscaya akan kembalilah penglihatan dalam keadaan payah, dan dia akan mengeluh.

Seluruh Kerjaan Ada Dalam TanganNya


"Maha Suci Dia, yang di dalam tanganNya sekalian kerajaan." (pangkal ayat 1). Apabila kita baca pangkal ayat yang pertama ini dengan penuh khusyu' dan memahami kandungannya secara mendalam, akan terasalah betapa Tuhan memberi ingatan kepada manusia dalam perebutan kekuasaan dan kemegahan dunia ini bahwasanya Kerajaan yang sebenar Kerajaan, kekuasaan yang sebenar kekuasaan hanya ada dalam tangan Allah.

Segala kerajaan dan kekuasaan yang ada di muka bumi ini, bagaimanapun manusia mengejarnya, atau bagaimanapun manusia mempertahankannya bila telah dapat, tidaklah dianya sebenar-benar kerajaan dan tidaklah dianya sebenar-benar kekuasaan. Bagaimanapun seorang Raja (Presiden) memerintah dengan segenap kekuatan, kegagahan dan kadang-kadang kesewenang-wenangan, namun kekuasaan yang seperti demikian hanyalah pinjaman belaka daripada Allah dan tidak ada yang akan kekal dipegangnya terus. Imbangan kekuatan dan kekuasaan yang terbagi-bagi dan terbelah-belah di dunia ini tidak ada yang kekal. Pepatah Melayu yang terkenal, yaitu "Sekali air gedang, sekali tepian berobah", benar-benar tepat untuk dipasangkan pada permukaan bumi ini. Belanda mempunyai kekuasaan di tanah jajahannya, yang mereka namai "Hindia Belanda" selama 350 tahun. Mereka lukiskan dalam uang yang beredar di lambang negara mereka yang berslogan "Je Maintendrai", yang berarti "Tidak akan aku lepaskan lagi". Setelah datang penyerangan tentara Jepang, kekuasaan yang 350 tahun itu hanya dapat mereka pertahankan selama satu minggu saja (tujuh hari). Setelah sampai tujuh hari mereka pun menyerah kepada tentera Jepang dengan tiada bersyarat.

"Phanta-Rei!" Semua berobah! Itulah peraturan yang berlaku dalam alam ini. Bila tiba waktunya, keadaan pun berkisar, yang di atas ke bawah, yang di bawah ke atas, yang telah tua gugur, yang muda datang menggantikan, buat kelak gugur pula. Tak ada yang tetap.

Naiknya seorang menjadi penguasa pun hanyalah karena adanya pengakuan! Setelah orang banyak mengakui, dengan angkatan tertentu, barulah dia berkuasa. Sedang Allah sebagai Maha Kuasa dan Maha Menentukan, tidaklah Dia berkuasa karena diangkat. Meskipun misalnya berkumpul segala isi bumi untuk mendurhakai kekuasaan Allah, yang akan jatuh bukan Allah, melainkan yang memungkiri kekuasaan Allah itu.

Itulah pula sebabnya maka mustahil Allah itu beranak. Sebab Allah itu hidup selama-lamanya dan Maha Kuasa untuk selama-lamanya. Allah tidak memerlukan wakil atau calon penggantiNya jadi Tuhan yang akan naik takhta kalau Dia mati! Amat Suci Allah daripada yang demikian. Maka pemeluk-pemeluk agama yang mengatakan bahwa Allah itu beranak, membuka pintu bagi kelemahan Allah sehingga dia perlu dibantu oleh anaknya, atau Allah merasa diriNya akan mati, sebab itu Dia mengangkat anak yang akan menggantikannya kelak, dan selama Allah itu masih Maha Kuasa, si anak menganggur saja tidak ada yang akan dikerjakan.

"Dan Dia atas tiap-tiap sesuatu adalah Maha Menentukan." (ujung ayat 1). Sebagai Tuhan Yang Maha Kuasa, Pembahagi Kekuasaan kepada sekalian raja dan penguasa di dunia di seluruh alam ini, baik di bumi ataupun di langit, Allahlah Yang Maha Menentukan segala sesuatu. Segala sesuatu adalah meliputi segala sesuatu, baik yang sangat besar maupun yang sangat kecil. Misalnya yang sangat besar ialah matahari dengan segala bintang-bintang yang menjadi satelitnya; rangkaian bintang-bintang itu dalam pertalian keluarga dengan matahari, dalam ukuran jarak jauh dan jarak dekat yang tertentu, sehingga terdapat keseimbangan, maka rangkaian itu pulalah yang terdapat pada alam yang sekecil-kecilnya. Alam yang sekecil-kecilnya itu iala yang dikenal dengan nama atom, atau zarrah. Kecilnya zarrah itu menyebabkan dia tidak dapat dibagi lagi. Kata a dan tom adalah kata majemuk, dua kata tergabung satu. A artinya tidak, TOM arti terbagi. Atom artinya tidak terbagi lagi. Disebut juga al-Jauharul fardd! Jauhar yang tunggal! Namun demikian, setelah diadakan kajian yang lebih mendalam didapatlah pengetahuan bahwa atom itu pun masih berkeadaan seperti matahari juga. Yaitu masih mempunyai satelit. Sehingga satelit-satelit itu diberi namanya sendiri, sejak dari neutron yang inti, lalu kepada elektron dan proton. Pengetahuan tentang ketentuan ini barulah didapat setelah diadakan penyelidikan yang seksama.

Kita ambil saja perumpamaan melihat kepala gajah yang begitu besar, dengan belalai dan telinganya yang lebar dan gadingnya yang panjang. Lalu mari kita lihat dengan mikroskop keadaan kepala lalat atau lengau! Bila kepala lalat itu telah kelihata dalam mikroskop, yang telah membesar berpuluh kali lipat, kita pun ta'jub melihat betapa hebatnya kejadian kepala dan tubuh lalat yang sangat kecil itu; matanya besar, mukanya berbulu, mempunyai belalai pula seperti gajah. Dan dia pun berhati, berjantung dan mempunyai perjalanan nafas yang teratur sebagai binatang-binatang yang besar-besar juga.

'Alaa kulli syai-in qadiir. Atas tiap-tiap sesuatu sangat menentukan. Dengan menggali rahasia alam, sehingga mendapat pengetahuan tentang segala yang dilihat, didengar dan diselidiki dari yang kecil sampai kepada yang besar, di waktu mendapatnya itulah kita akan lebih faham apa arti yang sebenarnya daripada kata takdir. Tegaslah bahwa segala sesuatu itu ada ketentuannya. Teranglah bahwa kalau ketentuan tidak ada, tidak pulalah akan berarti apa yang dinamai ilmu pengetahuan atau science (sains). Dan ini ditegaskan lagi pada ayat 191 dekat penutup Surat 3, ali Imran:

ﺭَﺑَّﻨَﺎ ﻣَﺎ ﺧَﻠَﻘْﺖَ ﻫَٰﺬَا ﺑَٰﻄِﻼً
"Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini dengan sia-sia."

Atau dengan percuma, dengan kacau-balau, atau dengan sembrono!

Oleh karena ketentuan Tuhan itu mengenai tiap-tiap sesuatu (kulli syai-in) dapatlah kita lihat itu pada teraturnya peredaran bumi di keliling matahari, yang pada pandangan sepintas lalu mataharilah yang mengelilingi bumi. Dapat dilihat pada pergantian musim, pergiliran letak bintang-bintang. Dapat kita lihat pada berbagai ragam buah-buahan dengan segala macam rasanya. Kadang-kadang kita merasakan perbedaan enak dan manis rasa mangga yang berbeda dengan manisnya rasa manggis, manisnya rasa rambutan yang berbeda dengan manisnya rasa buah apel, manisnya buah anggur yang berbeda dengan manisnya buah delima. Kadang perbedaan manis berbagai jenis mangga sesama mangga, atau pisang sesama pisang. Beribu tahun usia dunia tidaklah pernah berkacau atau bertukar ganti rasa masing-masingnya itu. Semuanya itu jelas menunjukkan bahwa masing-masingnya itu menuruti apa yang telah ditentukan oleh Tuhan.

Perhatikan pulalah berbagai jenis bunga-bungaan dengan campuran warnanya yang sangat indah itu. Di sana pun kelihatan jelas sekali ketentuannya, yang masing-masing bunga itu telah menerimanya dengan tetap. Perhatikanlah beribu macam ikan dalam lautan yang hidup dengan ketentuan sendiri, yang sesuai dengan hidup dalam laut dengan insang untuk menarik nafas di laut dengan lembung-lembung dalam perut yang bisa digembungkan dengan udara sehingga ikan dapat melembung ke atas permukaan air dan bisa pula dikempiskan untuk membenam ke bawah, sedang berbagai jenis ikan diberi alat senjata penjaga diri sehingga barangsiapa yang mendekat hendak mengganggunya dapat kena sengatnya yang kadang-kadang dapat membunuh. Atau mempunyai getaran listrik yang bisa mengalirkan stroom kalau dirinya tersinggung, atau ketam yang dapat memotong kaki manusia jika dia sedang ternganga jika dipijakkan, atau seperti sotong (cumi-cumi) yang kalau dirinya terganggu dapat menyemburkan warna hitam pekat, sehingga dengan dinding warna hitam itu orang tidak melihatnya berada di mana lagi dan dia sempat melarikan diri. Ini semua menunjukkan bahwa masing-masing hidup dalam ketentuannya sendiri yang sangat teratur.

Apatah lagi manusia! Begitu besar kekayaan Allah yang memberi ketentuan kepada manusia. Sehingga masing-masing manusia mempunyai ketentuan buat dirinya sendiri (identitas). Bunyi suara ditentukan buat masing-masing orang  yang tidak serupa dengan suara orang yang lain. Sidik jari, tanda pada bibir sehingga sudah bermilyar manusia yang mati sebelum manusia yang sekarang, namun tidaklah ada suaranya yang serupa. Masing-masing telah ditentukan suaranya yang tidak akan serupa dengan suara orang lain. Pada masa tafsir ini dikarang tidak kurang dari empat milyar manusia penduduk bumi ini, tidak juga ada yang serupa suaranya. Dan jika ini telah mati pula kelak, akan datang lagi angkatan yang lain, suara mereka pun tidak ada yang akan serupa. Inilah ketentuan, dan inilah kekayaan dan kekuasaan yang tiada terpermanai yang nyata boleh disaksikan setiap hari, tetapi tidak ada kekuasaan dan kekuatan lain yang dapat menirunya. Sebab Yang Maha Kuasa dan Maha Menentukan itu hanyalah Satu jua adanya.

Itulah makna dari sifat Allah  yang disebut Qadir, yang biasa kadang-kadang diartikan Maha Kuasa atau kita artikan yang mentakdirkan segala sesuatu. Tetapi karena kurang kita renungkan kerapkalilah kita salah memahamkan takdir, sehingga kadang-kadang kita lupa bahwa sifat Allah atau salah satu dari nama Allah yang disebut Qadir kita artikan saja bahwa Allah dapat berbuat sekehendaknya, dengan tidak mempunyai ketentuan, seakan-akan tidak mempunyai undang-undang yang disebut "Sunnatullah". Padahal semuanya ada ketentuannya, yang satu bertali dan berhubungan dengan yang lain. Misalnya bila air sungai mengalir dengan derasnya, itu adalah ketentuan adanya tekanan air (mineral) Lalu ada manusia menyeberang sungai itu; ketentuannya ialah bahwa dia pasti hanyut kalau tidak mempunyai persediaan kekuatan buat mengatasi derasnya aliran air itu, dan dia pasti sampai dengan selamat ke seberang asal dia tidak kehilangan akal, lalu diturutinya aliran air sambil melangkah atau berenang.

Demikianlah bahwa hidup dan mati manusia, bala bencana atau keselamatan, semuanya itu adalah pertemuan di antara ketentuan dengan ketentuan baik ketentuan besar atau ketentuan kecil, ada yang diketahui oleh manusia dan ada yang belum mereka ketahui. Namun seluruh keadaan dalam alam ini tidaklah ada yang terlepas dari ketentuan yang telah ditentukan Tuhan, yang kadang-kadang disebut juga hukum sebab dan akibat.


"Dia yang menciptakan maut dan hayat" (pangkal ayat 2). Teranglah bahwa Allahlah yang menciptakan mati dan hidup. Tetapi tentu timbullah pertanyaan, mengapa di dalam ayat ini maut yang disebut terlebih dahulu, kemudian baru disebut hayat? Mengapa mati yang disebut terlebih dahulu, sesudah itu baru hidup? Padahal manusia hidup terlebih dahulu sebelum mati?

Kalau kita renungkan susunan ayat sejak dari ayat yang pertama terus kepada ayat kelima berturut-turut, nyatalah bahwa tujuannya ialah memberi peringatan kepada manusia bahwa hidup ini tidaklah berhenti sehingga di dunia ini saja. Ini adalah peringatan kepada manusia agar mereka insaf akan mati di saming dia terpesona oleh hidup. Banyak manusia yang lupa akan mati itu bahkan takut menghadapi maut karena hatinya yang terikat kepada dunia. Berkenaan dengan ayat peringatan mati di samping hidup inilah Ibnu Abi Hatim merawikan sebuah Hadis dari Qatadah, bahwa Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:

إِنَّ ا للهَ أَذَلَّ بَنِيْ آدَمَ بِالْمَوْتِ وَجَعَلَ الدُّنْيَادَارَحَيَاٍة ثُمَّ دَارَمَوْتٍ وَ جَعَلَ اْلآ خِرَةَ دَارَجَزَاءٍ ثُمَّ دَارَبَقَاءً (رواه ابنو أبي حاتم)

"Sesungguhnya Allah menghinakan keturunan Adam dengan maut, dan Allah menjadikan dunia ini negeri untuk hidup, kemudian itu negeri untuk mati, dan Dia jadikan negeri akhirat untuk menerima ganjaran dan negeri untuk kekal."

Hadis yang dirawikan oleh Ibnu Abi Hatim dari Qatadah ini dan dirawikan pula oleh Ma'mar dari Qatadah juga, yang serupa isinya dan artinya, dapatlah dijadikan penjelasan dari maksud ayat ini. Yakni asal kita lahir ke dunia, sudahlah berarti bahwa kita telah pasti mati, sebab kita telah menempuh hidup, dan di antara waktu hidup dan mati itulah kita anak Adam menentukan nilai diri, sepanjang yang telah dijelaskan oleh lanjutan ayat: "Karena Dia akan menguji kamu, manakah di antara kamu yang terlebih baik amalannya." Maka di antara hidup dan mati itulah kita mempertinggi mutu amalan diri, berbuat amalan yang terlebih baik atau yang bermutu Tegasnya di sini dijelaskan bahwa yang dikehendaki Allah dari kita ialah Ahsanu 'amalan, amalah yang terlebih baik, biarpun sedikit, bukan amalan yang banyak tetapi tidak bermutu. Maka janganlah beramal hanya karena mengharapkan banyak bilangan atau kuantitas, tetapi beramallah yang bermutu tinggi walaupun sedikit, atau berkualitas. "Dan Dia adalah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun." (ujung ayat 2).

Dengan menonjolkan terlebih dahulu sifat Allah yang bernama al-'Aziz, Yang Maha Perkasa dijelaskan bahwa Allah tidak boleh dipermain-mainkan Di hadapan Allah tidak boleh beramal yang separuh hati, tidak boleh beramal yang ragu-ragu. Melainkan kerjakan dengan bersungguh-sungguh, hati-hati dan penuh disiplin. Karena kalau tidak demikian, Tuhan akan murka. Tetapi Tuhan pun mempunyai sifat al-Ghafur, Maha Pengampun atas hambaNya yang tidak dengan sengaja hendak melanggar hukum Tuhannya dan selalu berniat hendak berbuat amalan yang lebih baik, tetapi tidak mempunyai tenaga yang cukup buat mencapai yang lebih baik dari itu. Pada waktu itulah Tuhan menunjukkan belas kasihanNya, karena tidaklah Allah memberati seseorang kecuali sekadar kesanggupan yang ada padanya, sebagaimana tersebut pada pangkal ayat penghabisan (286) daripada Surat kedua al-Baqarah.

"Dia yang telah menciptakan tujuh langit bertingkat-tingkat." (pangkal ayat 3). Banyaklah kita perdapat di dalam al-Quran tentang langit yang tujuh tingkat atau tujuh lapis. Telah macam-macam pula tafsir yang dikemukakan orang. Ada yang mencoba menafsirkan dengan pengetahuan yang baru setengah berkemban. Ada yang menafsirkan bahwa langit yang tujuh lapis itu ialah bintang-bintang satelit matahari yang terkenal. Sejak dari bumi sendiri, Jupiter, Apollo, Neptunus Mars, Mercury dan Uranus. Tetapi itu hanya semata-mata tafsir, menurut dangkal atau dalamnya ilmu pengetahuan si penafsir tentang keadaan alam cakrawala. Dan ada juga yang memasukkan berbagai dongeng, sehingga dihiasilah tafsir al-Quran dengan dongeng yang tidak berketentuan dari mana sumbernya. Semuanya itu belumlah tepat mengenai alamat yang dituju. Oleh sebab itu sesuailah kita dengan penjelasan yang diberikan oleh Sayid Quthub di dalam "Zilal"nya bahwa "langit tujuh tingkat" itu jangan ditafsirkan dengan ilmu pengetahuan alam (science, sains) yang bisa berobah-obah. Karena penyelidikan manusia tidaklah akan lengkap dalam menghadapi alam cakrawala yang begitu maha luas. Cukupkan sajalah dengan Iman terhadap artinya; "Langit adalah tujuh tingkat". Kita percayai itu, dan bagaimana tujuh tingkatnya itu, Tuhanlah Yang Lebih Tahu.

Sampainya manusia ke bulan dengan pesawat yang bernama Apollo, belumlah menjamin bahwa mannusia sudah akan sanggup menguasai langit dan mengetahui seluruh rahasia langit. "Tidaklah akan kamu lihat pada penciptaan Yang Maha Pemurah itu sesuatu pun dari yang bertikaian." Artinya bahwa semuanya dijadikan dengan teratur, tersusun rapi.

Ahli-ahli telah sampai penyelidikannya bahwasanya bintang-bintang yang bertaburan di langit itu diatur menurut jarak ukuran yang tertentu, menurut ukuran perseimbangan, sehingga yang satu berkait dengan yang lain, jarak jauh ukuran antara yang satu dengan yang lain itu menyebabkan dia tidak terjatuh dari tempatnya yang telah ditentukan. "Maka ulanglah kembali penglihatan, akankah engkau lihat sesuatu yang janggal?" (ujung ayat 3).

Lihatlah misalnya matahari dan bulan. Bila kita lihat dari atas permukaan bumi, ini bulan penuh empat belas hari, lalu dibandingkan dengan matahari, kelihatannya sama saja besarnya. Padahal ilmu pengetahuan manusia telah membuktikan bahwa bulan ini sangatlah kecilnya bila dibandingkan dengan matahari, bahkan bulan lebih kecil dari bumi. Mengapa maka sama saja kelihatan besarnya? Alangkah cerdik pandai Tuhan yang mengaturnya, sehingga terletak bulan di tempat yang sama besarnya kelihatan oleh manusia dari muka bumi dan matahari. Niscaya kalau letak bulan di dekatnya sedikit lagi daripada tempat yang telah ditentukan oleh Allah semula itu, akan kelihatan bulan itu jauh lebih besar daripada matahari, sebagaimana bila matahari terbenam ke sebelah Barat di balik gunung, kelihatan seakan-akan matahari itu kecil saja dibandingkan dengan gunung.

Sebab itu tidaklah ada yang janggal. Tidaklah ada yang ukurannya tidak kena. Bentuk timbunan tanah yang bertumpuk jadi gunung sama saja dengan bentuk munggu kecil yang di bawah gunung itu.

"Kemudian itu ulanglah kembali penglihatan kedua kalinya." (pangkal ayat 4). Pangkal ayat ini menyuruh kita mengulangi penglihatan memperhatikan sekali lagi, dua tiga kali lagi. Karena apabila ditambah mengulangi melihatnya akan terdapat lagi keajaiban yang baru dan "Niscaya akan kembalilah penglihatan dalam keadaan payah." Payah karena kagum dengan kebesaran Ilahi. Bila dilihat keadaan alam yang sekeliling kita ini akan terdapatlah sifat-sifat Allah yang mulia terlukis dengan jelas padanya. Kesempurnaan (Kamal), Keindahan (Jamal) dan Kemuliaan (Jalal). Di sana bertemu kasih, di sana bertemu sayang, di sana bertemu perlindungan, di sana bertemu peraturan dan ketentuan yang sangat membuat kita menjadi kagum. Maka berasa bahagialah diri karena diberi akal buat memikirkan semuanya itu, diberi perasaan halus buat merasakannya. "Dan dia akan mengeluh." (ujung ayat 4). Mengapa mengeluh? Mengeluh lantaran karena di waktu itu mendesaklah dari dalam jiwa kita sebagai manusia berbagai perasaan. Di antaranya ialah kagum melihat betapa besarnya kekuasaan Tuhan. Di samping itu terasalah kecil diri di bawah kekuasaan Ilahi. Lalu timbul rasa syukur yang sedalam-dalamnya karena kita dijadikan manusia yang dapat berfikir dan merasa, buat meresapkan nikmat Allah dan kekayaanNya yang terbentang di mana saja dan ke mana saja mata memandang.

Sungguhlah keempat ayat permulaan daripada Surat al-Mulk ini membawa kita manusia ke halaman alam Yang Maha Kuasa, untuk mempergunakan penglihatan mata dan pendengaran telinga menghubungkan diri dengan Allah, dengan perantaraan Alam yang Allah ciptakan. Benarlah kata-kata yang jadi buah tutur dari ahli-ahli Tasawuf:

"Aku ini adalah perbendaharaan yang tersembunyi. Lalu Aku ciptakan hamba-hambaKu. Maka dengan bimbinganKulah mereka mengenal Daku."

Akal budi dan perasaan yang halus dalam diri dipersambungkan dengan alam keliling oleh penglihatan dan pendengaran, untuk mengambil hasil dan mencari hakikat yang sebenarnya. Mencari kenyataan sejati di belakang kenyataan yang nampak.

Ayat-ayat ini dapat mendorong kita buat mencintai seni, berpereasaan halus. Boleh juga membawa kita ke dalam ilmu pengetahuan yang mendalam, boleh juga membawa ke dalam filsafat atau hikmat tertinggi. Tetapi hasil yang sejati ialah menumbuhkan keyakinan bahwa kita datang ke dalam alam ini bukanlah dengan tiba-tiba, dan bukan dengan kebetulan, dan bahwa alam ini sendiri pun mustahillah begini teratur, kalau tidak ada yang mengaturnya.

No comments: