Thursday 15 December 2005

Kapan?

Pertanyaan dengan lima huruf itu sudah sering diajukan kepadaku.

Kapan?

Biasanya aku menjawab, “Sebentar lagi..”

Atau kujawab, “Insya Allah tahun depan.”

Atau, “Secepatnya.”

Atau lagi, “Tunggu aja, InsyaAllah dikasih tau deh kalo udah dateng saatnya.”

Dalam hati aku bertanya-tanya, belum pernah aku menjawab “Tidak tahu.” Padahal kan umur tidak ada seorang pun yang tahu. Coba pikir, mana sempat seseorang memberi tahu orang lain ketika dia sedang sekarat menanti ajal? (“Insya Allah dikasih tahu kalo udah saatnya.”)

Apapun, sekarang giliran saya bertanya, “Kapan?”

Tapi, tidak seperti kebanyakan pertanyaan kapan, saya lebih spesifik bertanya. Kalau hanya bertanya kapan, bisa macam-macam jawabannya, tergantung pemahaman orang yang ditanya. Siapa tahu orang yang ditanya sedang sibuk menyelesaikan tugas kuliah, maka ketika ada orang bertanya “Kapan?” kepadanya, dia bisa menjawab, “Aku nggak bisa ngerjain tugas kuliah dari pak Fulan nih. Susah banget dia kasih tugas.”

Jadi, supaya nggak membingungkan, saya bertanya, “Kapan Anda terakhir kali menulis dengan pena?”

Di jaman modern ini, di mana friendster dan google jadi perbendaharaan kata sehari-hari, orang lebih sering menulis menggunakan papan-bidai. Kalau mahir mengetik 10-jari, aktiflah jari-jarinya bergerak menari-nari. Tapi kalau cuma bisa 11-jari, ya hanya sebelas jari itu saja yang makin berotot.

Ketika pasca-bayar dan voucher menjadi kosa kata sehari-hari, orang menulis bahkan hanya bermodalkan jari jempol saja. Untung saja Allah sudah mendesain ibu jari manusia itu lebih gemuk daripada jari-jari yang lain. Jadi insyaAllah ketika menulis es-em-es jari jempol kita nggak bakalan kurus.

Buat konsultan ay-ti (baca: IT), bisa jadi kepiawaian menggunakan pena makin menurun. Kalau gajinya cukup besar untuk apply kartu kredit, paling-paling pena hanya mampir di tangan ketika menandatangani slip kartu kredit waktu belanja di pasar swalayan atau mol.

Dengar-dengar ada perangkat lunak pemrograman yang betul-betul mengandalkan tetikus (baca: mouse) saja. Wah.. kalau sudah begitu, bikin program seperti main game kali ya, just point, click, and drag.

Kenapa sih saya mempermasalahkan soal tulis-menulis dengan pena? Simpel aja sih.

Adik-adik (atau anak-anak kalo yang udah punya anak) kita di sekolah toh belajar menulis pake pensil dulu. Baru setelah di kelas tiga SD mereka boleh pake pena. Dipikir-pikir, kasihan aja kalo ada anak yang minta diajarin bapak-ibunya nulis, ternyata orang tuanya lebih mahir menulis dengan jempol.

Buat yang masih sering memanfaatkan jasa angkutan umum, pasti pernah ditawarin abang-abang yang jualan pena. Kasian aja liat mereka cari nafkah dengan cara halal tapi dagangannya nggak laku-laku lantaran kita lebih milih nulis pake kibor (baca: keyboard) komputer. Padahal orang-orang kaya nggak perlu bersusah-susah dagang bolpen di jalanan berdebu ibu kota untuk bisa jadi kaya (teganya!)

Sebelum saya akhiri, saya pengen tahu (survey nih ceritanya) kapan sih terakhir anda menulis dengan pena? Maksud saya di sini bukan sekedar menulis satu atau dua kalimat. Minimal satu halaman kertas folio.

Berikan jawaban anda dengan cara menuliskan (kali ini boleh pake kibor komputer) comment di bawah entri blog ini. Selambat-lambatnya.. ah.. tak usahlah pake deadline. Deadline di kantor udah cukup bikin pusing, nanti saya malah bikin pusing anda-anda kalo pasang deadline juga di sini.

Saya tunggu komentarnya ya!