Saturday 28 May 2005

Sinetron Korea

Beberapa minggu belakangan, aku ketagihan nonton sinetron korea. Tadinya sih cuek-cuekan pas ibu nonton sore-sore. Tapi pelan-pelan sambil nemenin nonton aku nyimak juga. Ternyata ceritanya bagus. Yang lebih bagus lagi adalah akting pemerannya. Beda jauh sama akting artis-artis indonesia.


Sinetron indonesia itu.. parah banget deh. Nggak keitung yang jalan ceritanya dipaksain. Aktingnya juga kaku. Belon lagi ide ceritanya yang nggak jauh-jauh dari ‘trend masa kini’. Kalo ada yang bikin sinetron bertema pocong dan laku.. rame-rame dah tuh yang lain ikutan bikin
sinetron pocong. Sekarang ini yang lagi nge-trend adalah reality show dan cerita-cerita mistis.


Sedih.


Sinetron-sinetron mistis bukannya ngedidik pemirsa malah memberikan citra buruk tentang Islam. Padahal Islam itu bukan agama pengusir setan. Juga bukan agama yang cuma bisa nyeritain hal-hal menakutkan ketika orang sudah mati. Apa gunanya orang diceritain azab kubur kalo korupsi tetep jalan maju tak gentar?


Reality show nggak jauh beda. Contoh paling parah adalah reality show ‘uang kaget’. Idenya bagus kok.. ngasih rejeki orang. Tapi apakah ngasih rejeki orang untuk kemudian langsung dibelanjakan bisa dikategorikan mendidik? Pemirsa justru disodorin pemahaman kalo dapet rejeki banyak, langsung diabisin yah. Jangan ditabung! Nabung itu tabu dalam reality show! Karena efek reality-nya nggak keliatan kalo orang dapet rejeki nomplok terus uangnya ditabungin. Masak dari episode ke episode penayangan adegannya hanya orang buka rekening bank? Nggak lucu itu! Nggak menarik sponsor untuk masang iklan!


Reality show emang ujung-ujungnya narik rejeki dari sponsor kok. Nggak perlu mikir panjang-panjang untuk bisa sampe ke kesimpulan seperti ini. Yang makin kaya justru stasiun teve dan rumah produksi. Rakyat jelata mah tetep aja miskin. Kalo emang niat baik mau ngasih rejeki nomplok, kenapa uangnya nggak disumbangin aja tuh ke sekolah atau yayasan pendidikan? Manfaatnya lebih kerasa sama orang banyak ketimbang cuma beberapa gelintir orang yang bisa ngerasain enaknya punya duit berlebih.


Begitulah.. tayangan teve di indonesia ini lebih mementingkan segi komersialnya daripada aspek pendidikannya. Yang penting penyelenggara acara untung, nggak peduli acaranya bikin orang susah.


Jauh beda sama sinetron korea. Sama-sama menghibur, tapi jauh lebih mendidik sinetron korea daripada sinetron indonesia. Cerita jatuh cinta punya sinetron korea mungkin nggak bisa dikatakan ada aspek pendidikannya, tapi paling nggak mereka nggak ngajarin bunuh-bunuhan dan iri hati. Itu jauh lebih bagus daripada isi sinetron indonesia yang bisanya cuma ngajarin iri hati antara mertua dan menantu, antara si cantik rupa (tapi kaya) dan si jelek (tapi miskin).

About One Direction Blogs

One Direction Blogs is really a list of blogs written by other people. Why I called it One Direction? Because I know they are writing their blogs, he/she doesn't know I write my blog. So..it is really One Direction.

Thursday 12 May 2005

From mail

Hi.. this is just only a test. Blogspot says I can send a post from
e-mail, sent to a secret e-mail address at blogger.com.

--
Ag.B -- barliant@duabelas.net
Aspire, Empire, Expire, Inspire, Perspire, Respire, Transpire


Yahoo! Mail
Stay connected, organized, and protected. Take the tour:
http://tour.mail.yahoo.com/mailtour.html

Doeabelas Mei

For those English readers, apologize me to write this article in Bahasa Indonesia. For those Bahasa Indonesia readers, apologize me not to write using ejaan yang benar.

Hari ini sudah 7 tahun kejadian 12 Mei 1998 berlalu. Di antara 7 kali upacara peringatan 12 Mei, saya hanya ikut 4 di antaranya. Tahun lalu saya sengaja nggak ikut, karena mulai merasa ada keanehan dan terasa muatan politisnya.

Pagi ini, saya ikut lagi upacaranya. Hanya karena perasaan ingin tahu aja apakah ada perubahan yang mencolok setelah 7 tahun berlalu. Sambil jalan ke lapangan upacara, tadi mikir-mikir, ini kasusnya mirip-mirip sama nine-eleven-nya Osama bin Laden. Mungkin skalanya aja yang lebih kecil.

Sejak tahun lalu, saya mulai merasakan ada kejanggalan dalam peringatan kasus 12 Mei ini. Setiap kali upacara 12 Mei diadakan, selalu saja yang diundang adalah justru para dosen dan karyawan. Bagaimana dengan mahasiswa? Hanya perwakilan BEM. Isn't it strange?

Padahal yang jadi korban peristiwa 12 Mei 98 itu jelas-jelas mahasiswa. Nggak ada satu pun dosen atau karyawan yang jadi korban. Lha kok ketika peristiwa itu diperingati, hanya segelintir mahasiswa yang diajak.

Rupanya bukan hanya saya yang merasakan keanehan ini. Paling tidak ada salah satu rekan karyawan yang tadi bareng-bareng berangkat ke lapangan upacara merasakan hal yang sama. Dia bilang, "Pejabat universitas ini orang-orang akademik semua, tapi kok cara berpikirnya nggak akademis ya?" Ini bukan saya lho yang ngomong. Tapi siapa pun yang ngomong, dipikir-pikir dulu lah, kenyataannya bener begitu nggak?

Ada lagi yang aneh. Mahasiswa yang ikut upacara hanya perwakilan. Lalu sisanya yang lain ke mana? Di rumah! Kok bisa? Ya bisa aja, kan udah diumumin beberapa hari sebelumnya kalo tanggal 12 Mei semua kegiatan akademik dan kegiatan pelayanan akademik ditiadakan. Buat mahasiswa yang hidup di tengah kota Jakarta, yang deket dengan 4 pusat perbelanjaan, hal semacam ini disambut dengan "Asik! Gue bisa libur!"

Kayak gini ini Reformatif? Apa Reformasi itu artinya bikin orang supaya jadi malas ya?

Satu lagi yang aneh. Ini kasus kan tahun 98 dulu nggak cuma mahasiswa Trisakti yang ikut terlibat. Lha kenapa peringatannya hanya diperingati di sini doang? Kenapa nggak BEM se-Jakarta ikut terlibat?


Lihat juga berita di situs berita detik.com hari ini (klik judul artikel ini). Kasus 12 Mei cenderung memudar dan dilupakan. Saya jadi mikir, Kapan ya tanggal 12 Mei nggak cuma dijadiin hari peringatan gugurnya pahlawan Reformasi, tapi justru yang lebih penting, 12 Mei diperingati sebagai hari terungkapnya kasus 12 Mei.

Bukankah itu lebih penting?

Bisakah anda bayangkan apa yang dirasakan oleh orang tua para mahasiswa yang jadi korban penembakan 12 Mei? Udah 7 tahun nggak jelas siapa yang memerintahkan penembakan itu. Apa nggak capek? Apa nggak habis uang dan waktu untuk meminta penjelasan?

Semuanya ditutup-tutupi kan?

Karena itu tadi pagi saya mikir kasus 12 Mei ini mirip nine-eleven. Boleh jadi kita menyebutnya twelve-five, 12/5.

Tulisan ini saya buat atas dasar keinginan untuk mencari tahu ada apa sebenarnya yang terjadi. Saya ingin mencari tahu jawaban atas pertanyaan Why?

Gara-gara kejadian 12 Mei, kampus ini disebut Kampus Pahlawan Reformasi. Well.. kalo dipikir baik-baik emang bener sih. Mereka yang jadi korban boleh lah disebut Pahlawan. Tapi sayangnya yang masih hidup tidak reformatif.

Nyontek masih jadi kebudayaan. Aturan Batas Masa Studi masih bisa dinegosiasikan. Kriteria kelulusan mahasiswa kadang juga masih bisa dinegosiasikan. Mahasiswa datang ke kampus lebih banyak yang karena gengsi ingin pamer handphone baru atau fashion gaya baru.

Dosen yang seharusnya punya tugas utama ngajar, seringkali ditambahi dengan beban kerja administratif yang seabreg-abreg. Rapat sini lah, rapat situ lah. Berapa kali jadwal kuliah dikorbankan karena dosen pengajarnya ikut rapat ini dan itu. Dengan akting mirip akrobat seperti itu, mana bisa dosen bikin penelitian yang serius? Kapan dosen di kampus ini bisa menyaingi penelitian dari negara tetangga? Jangan pikirkan negara maju, dibandingkan dengan negara tetangga aja belum tentu kita bisa bersaing gara-gara sering akrobatik jungkir balik dengan tugas administratif.

Pernah ada kawan selama 5 hari kerja dalam seminggu selalu merapatkan barisan. Kerjaannya dari rapat ke rapat. Mirip anggota dewan yang terhormat aja.

Gimana bisa terhormat coba? Padahal kesejahteraan karyawan dan dosen seringkali masih diabaikan. Menurut salah satu sumber, salah satu pejabat pernah bilang begini, "Lha karyawan itu nggak pernah demo minta kenaikan gaji kok, berarti kan mereka merasa cukup dengan gaji yang diberikan?". Akademisi yang nggak berpola pikir akademis! Emangnya biaya hidup di Jakarta itu berapa? Gaji karyawan berapa? Bisa nabung nggak mereka buat masa depan keluarganya?

Bukan orang Indonesia namanya kalo nggak bisa bikin joke dari kenyataan pahit semacam itu. Salah seorang temen bilang, "Kalo kerja di sini selama setahun pertama gajinya pas-pasan. Tahun kedua dan seterusnya akan kembali menjadi biasa. Terbiasa digaji pas-pasan". Ironic but true.

Ini udah kepanjangan kali ya? Tapi ijinkan saya ngebahas satu contoh kasus lagi dari masalah ini.

Anda tahu harga buku teks sekarang itu berapa? Idealnya, kalo mau selalu up-to-date, dosen sebagai pengajar kan musti tahu perkembangan teknologi terakhir, iya kan? Nah.. bicara tentang sumber informasi terakhir, salah satunya bisa diambil dari buku teks. Buku teks ini idealnya digunakan sebagai bahan mengajar di kelas.

Katanya sih reformasi. Kenyataannya untuk satu tahun setiap dosen berhak menerima uang sebesar Rp.150.000,- untuk membeli buku baru. Mau dapet buku apa dengan uang sebesar itu? (sekali lagi, ini pola kebijakan yang nggak akademik dalam lingkungan pejabat yang sebagian besar punya gelar akademik). Padahal seorang dosen minimal mengajar 2 mata kuliah yang berbeda. Idealnya tiap mata kuliah perlu di-update dengan informasi baru dong. Tujuh puluh lima ribu rupiah mau beli buku baru apa?

Cukup lah dulu sampe sini. Mau dipanjangin kalo nggak ada aksi perubahan reformatif ya tetep begini-begini aja keadaannya. Kalo ada yang baca ya saya mohon maaf. Saya hanya mengungkapkan kenyataan yang ada, bukan bermaksud mengungkap aib. Maksud saya supaya ini bisa jadi bahan evaluasi, mana yang sebetulnya perlu direformasi. Upacara seremonial tiap tahunnya, atau kebudayaan kita yang pengen direformasi?

Yah.. untuk sementara waktu, paling-paling karyawan dan dosen disuruh untuk bisa survive dulu dengan keadaan yang ada. Tapi mau sampe kapan?

Tuesday 10 May 2005

Tarian Tangan (hand dance)

Dari hari ke hari Tura merasakan dorongan hatinya untuk menulis semakin kuat. Dari waktu ke waktu Tura merasakan bahwa menulis adalah kebutuhannya. Tura merasa butuh menuliskan apa yang dia pikirkan, apa yang dia rasakan, apa yang dia dengar. Tura membutuhkan media ekspresi tulisan seperti dia butuh menghembuskan udara dari paru-parunya. Tak ada seorangpun manusia hidup yang mampu menahan untuk tidak menghembuskan nafas. Kecuali orang itu ingin bunuh diri.

Dari waktu ke waktu Tura merasakan tangannya semakin tidak betah untuk berdiam diri. Tura ingin tangannya segera memegang pena dan membuat pena itu menari-nari di atas lembaran kertas kosong.

Monday 9 May 2005

\trefik jem\ I

If you live in Jakarta, you know very well what I mean.

Two months ago..lasts for about 2 years maybe..every Monday morning we had a traffic jam in Jakarta's roads and streets. You can go very early, but you will get to the office almost midday.

What is wrong?

From day to day, Jakarta streets is filled by more and more vehicles. Especially motorcycle. Yes, it is true! No doubt the growth of motorcycle population is increasing. many tv quizzes give cars or motorcycles as prizes. Banks give prizes to their 'loyal' customers.

The traffic jam is going crazies in Monday morning, when people go to their offices in the first day of week. But it is interesting to observe that for about one month now, the pattern is changing. The highest morning traffic jam is now almost always happen on Tuesday, not Monday anymore. Seems Jakarta citizens think, 'Hey, this is Moday, most people go to their office early. So I better go later. I'll go early tomorrow.'

Not only one person who thinks like that, but many of them.

The pattern might shift next year, the highest morning traffic would be on Wednesday. Maybe.

Whatever the pattern looks like, Jakarta is not a peaceful place to live.

Sunday 8 May 2005

Trash City

This is a true story. A real sad story. A dissapointing facts about very famous city.

If you ever went to Jakarta, or if you are a Jakarta citizen, you'll find what I write is true. By the time I write this, I don't know when it will changed. IMHO the earliest will be next two generations (assuming we are taking actions now).

If you are in Jakarta, or if you will be in Jakarta in the next few days, don't forget to take an observations on Jakarta's street. Not only 'Jalan Protokol', but the ordinary streets in Jakarta. You can easily find trash everywhere.

Sad but true.

You can even find people on the public bus trashing an empty can of softdrinks to the street. Without feeling guilty. Without thinking there might be other people standing on the street hit by the empty can. Without even thinking what will they do if other people trashing on their face.

More sadder facts can be found, if you lucky enough, to see a trash is thrown out through the window of expensive cars. If you are curious to see these events, try to watch it in a highway (Jalan Tol).

Those Uneducated Rich People.

No doubts if the rain falls, you can experience floods everywhere. And still the Jakarta citizens blaming their government (Pemerintah Daerah DKI Jakarta).

Why not blaming on theirself?